Catatan Harian Rie
Maret, 2016
Hm…, mulai dari mana ya?
Kadang, gue bertanya-tanya, apakah orang-orang yang gue kenal memang
benar-benar baik? Benar-benar menyukai gue? Atau justru munafik didepan gue,
membenci gue dan selalu menjelekkan gue dibelakang?
Sejujurnya gue merasa kepribadian gue bukanlah pribadi yang mudah disukai
orang. Justru sebaliknya, sangat mudah dibenci orang.
Jujur, gue sedih.
Belakangan ini sangat sedih karena hampir tidak ada seorang pun yang
mengerti gue.
Bagaimana mau mengerti? Mereka selalu menjelekkan gue, menjudge, menganggap gue buruk sebelum memahami
apa yang gue rasakan. Yang gue alami. Gue merasa jahat… tapi gue juga merasa
mereka jahat. Rumit.
Sebenarnya, gue sudah merasa jika gue mulai diasingkan kembali di kelas.
Tapi gue pikir itu baik-baik saja karena gue memiliki teman – teman dekat. Everything’s gonna be okay, like my life in
junior high school. Iya, sejak dulu sedikit orang yang bisa mengerti gue
apa adanya. Jikalau ada, gue menganggapnya the
one and only, satu – satunya yang tidak bisa tergantikan. Gue selalu bisa
menjadi diri gue sendiri dihadapannya, dan gue berharap dia juga bisa tampil
apa adanya dihadapan gue. Itu adalah pertemanan, sebuah persahabatan yang gue
impikan sejak lama. Gue nggak ingin jika gue berteman baik hanya untuk
dimanfaatkan, dan gue sangat membencinya.
Then, the problem comes.
Gue tau rasanya sakit hati, dan tidak ada yang peduli dengan gue, justru
menyalahkan gue. Hmm. Sulit, bukan?
Sebetulnya masalahnya simpel… ah tidak, rumit. Gue iri dengan kesempatan orang
lain untuk magang – tepatnya teman dekat gue sendiri-, yang mulanya ditujukan
pada gue. Berhubung dia memang tidak sengaja melakukannya, dan bukan salahnya
sepenuhnya, gue memaafkan. Gue pikir, tidak ada untungnya bagi gue juga, kan?
Tapi, yang namanya perasaan memang tidak dapat dicegah. Ketika ia mulai sengaja
tidak sengaja menceritakan tentang pengalaman atas magangnya itu diberbagai
media, gue mulai kesel lagi. Why? Why not
me? And why she always talking about? Dan apakah ia tidak tahu, bila gue
merasa sedih dan tidak suka karena masalah ini, sehingga gue juga merasa tidak
dihargai sama sekali?
Gue benar – benar terpuruk saat itu, serius. Itu adalah masa – masa dimana
gue selalu menyalahkan diri gue sendiri… gue selalu menanggap diri gue lemah.
Gak bisa apa – apa. Nggak mampu. Down. Tapi
tidak ada yang peduli. Tidak ada yang mengerti mengapa gue bisa down, marah, sensitif. Batin gue berkata
seolah gue nyesel tidak berada disana. Apakah
salah gue, mengapa bukan gue? Itu adalah pertanyaan yang selalu menghantui
gue kala itu.
Sekilas, dari pandangan orang luar yang nggak tau apa – apa, gue lah yang salah. Jelas kesempatan itu
diraih bukan karenanya, tapi karena guru sendiri. Gue terkesan childish ya? Menyalahkan orang yang tak
patut salah. Gue mau bersikap dewasa sebenarnya dengan menerima – tapi itu
sulit loh. Sulit sekali, apalagi itu tentang teman terdekat lo sendiri. Seolah kesempatan yang harusnya untuk elo
tetapi tidak elo terima.
Jadi, tetap tidak ada yang mau menganggap gue. Mendukung gue. Semua
mengatakan secara kasat mata jika gue salah.
That’s hurt. Ketika gue menangis,
hampir tidak ada yang menghibur. Mereka hanya bertanya karena kepo dan bukan
peduli, dan akhirnya memutuskan jika gue yang salah. Sekarang, gue nyesel
menjawab pertanyaan – pertanyaan mereka yang jelas – jelas tidak mengenal
siapakah gue.
Tapi akhirnya, pelan – pelan gue mau berusaha. Berusaha untuk menerima
bukan melupakan, pelan – pelan tidak terlalu mengutuk diri sendiri. Teman –
teman dekat gue yang lain, terutama teman semasa SMP, mendukung gue… karena
paham gue seperti apa. Mama gue juga begitu, ia memberikan gue saran untuk
tetap sabar. Mereka memberikan semangat, meyakini gue kalau selalu masih ada yang lebih baik kedepannya.
[ mata gue berkaca – kaca loh pas ngetik
paragraf ini, serius. (“: ]
And then? The problem is end, right?
No, of chourse not. My self problem still continued.
Sekitar satu minggu sebelum giliran gue untuk magang, gue hampir menjadi
peserta kompetisi akuntansi. Iya, akuntansi. Mata pelajaran yang sebenarnya gue
sangat suka dari SMP dan gue memang menargetkan memiliki prestasi atau
setidaknya pengalaman didalamnya. Gue hampir membatalkan giliran gue magang.
Pengalaman berkompetisi, atau magang?
Berhubung gue adalah seorang anak SMK, dan magang adalah salah satu syarat
untuk ujian nasional, tentu pilihan magang lebih berat, kompetisi lebih ringan
untuk dilepaskan. Ketika gue cerita kepada guru agama gue (karena guru BP
kebetulan belum ada), beliau juga bilang hal yang sama. Ia bilang, suatu saat
pasti ada kesempatan untuk gue berkompetisi lagi, walau bukan sekarang. Gue
yakin, gue berusaha untuk percaya itu. Gue bercerita sambil menangis (lagi)
kepadanya. Gue bilang, mam, saya takut
bila kejadian itu terjadi lagi. Kejadian dimana harusnya kesempatan saya malah
diambil oleh teman dekat saya sendiri. Apalagi teman dekat gue itu bisa
dikatakan memiliki kepintaran ralat, kemampuan akuntansi yang hampir sama
dengan gue.
Tapi beliau terus meyakinkan gue. Meyakinkan kalau semua hal selalu
memiliki waktu yang tepat. Dengan keyakinan itu, gue mengiyakan ucapannya. Gue memutuskan
untuk memilih magang, dengan sembilan puluh persen ikhlas.
Well, bisa dikatakan
pengalaman magang gue cukup bagus. Kenapa ya… banyak hal menarik, unik, dan gue
senang bisa disayangi salah satu karyawan disana, padahal biasanya karyawan itu
cenderung cuek dengan anak magang. Mungkin karena gue dan dia memiliki beberapa
kesamaan. Oke, lupakan.
Dan, ketika gue kembali bersekolah, batin gue mulai bermasalah lagi.
Apa yang gue takutkan, apa yang gue khawatirkan benar - benar terjadi.
Lagi-lagi dia.
Dia yang diikutsertakan dalam kompetisi. Lagi, dan lagi.
Gue akui, gue iri banget. Banget.
BANGET.
Sejak masih berada di kelas satu, gue sangat menginginkan kompetisi –
entah mengapa. Mungkin karena gue pribadi yang suka bersaing dan selalu
menargetkan hal yang tinggi. Gue ingin ada bukti bahwa gue memang pantas berada
di kelas akuntansi. Gue tidak mau hanya sekedar nilai bagus di rapor, atau
pengakuan dari teman – teman SMP dan keluarga yang mengatakan kalau gue bisa
akuntansi. Apa lagi gue sudah belajar akuntansi sejak lama, sudah hampir lima
tahun. Masa bertahun – tahun tidak ada hasil sama sekali? Gue takut kalau gue
tidak cocok untuk terus fokus pada bidang akuntansi. Gue takut, gue berada
dijalan yang salah. Aneh, ya?
Iri banget… tentang dia yang sepertinya hampir selalu mendapatkan apa yang
gue harap. Kadang gue juga merasa kalau ini semua nggak adil.
Tapi sekali lagi, dia nggak salah. Dia nggak salah, dan semua orang
menganggap gue salah. Siapa peduli akan apa yang gue rasakan, siapa mengerti
tentang harapan gue, siapa yang mau mengerti diri gue yang seperti ini?
Perlahan, gue seperti kembali ke masa lalu. Ketika gue dianggap sebagai kasat
mata dan hanya sedikit orang yang peduli. Gue terima diperlakukan sebagai orang
tidak kasat mata, tapi gue tidak ingin memiliki masalah diri sendiri dengan
teman dekat gue sendiri.
Seperti yang gue bilang diatas, bagi gue teman adalah the one and only. Tidak mudah bagi gue untuk berbaur dengan orang
lain yang jelas – jelas tidak mau menerima gue, atau gue yang memang enggan
membuka diri gue. Gue orang yang tidak mau peduli, terlalu mementingkan diri
sendiri, egois, mudah iri hati, tapi dibalik itu gue sangat peduli tentang
teman dekat – alias sahabat – yang mungkin dianggap sebelah mata bagi beberapa
orang.
Gue tidak ingin kehilangan teman dekat gue – dia. Sungguh. Tapi gue sangat
takut rasa itu akan muncul kembali. Silahkan bilang gue buruk. Jahat.
Kenyataannya memang seperti itu, ya? Pantas tidak ada yang mau menerima gue,
hanya beberapa orang.
Mudah sih… semua yang menjadi tempat curhat gue berpendapat yang sama.
Jangan iri. Simpel. Mengikhlaskan. Nanti bisa berujung dendam.
Tapi itu tidak mudah. Walau gue sudah menanamkan hal itu pada pikiran gue,
tetap saja hati gue sering berkata sebaliknya.
Gue tidak takut dendam, yang gue takutkan adalah diri gue sendiri. Gue
takut jika gue iri, gue akan down. Gue
sering begitu. Ketika gue iri, gue selalu merasa tidak mampu dan akhirnya
menyalahkan diri gue sendiri. Itu yang terjadi ketika dia mendapatkan
kesempatan magang duluan tempo lalu.
Gue akan menyesal. Takut dan khawatir yang tidak perlu dengan diri gue.
Lalu, ketika yang gue khawatirkan terjadi, rasa takut gue datang, yang bisa gue
lakukan hanya menangis. Mengurung diri di kamar. Gue merasa kesepian. Gue
merasa tersesat. Gue merasa kalau gue hanya sendiri.
Tolong.
Gue nggak ingin perasaan yang muncul tanpa bisa dikendalikan ini membuat
orang – orang sekitar gue enggan mau bersama gue, dan selalu menganggap gue
manusia yang salah dan penuh dosa. Gue butuh orang yang menerima gue yang
seperti ini, meningatkan gue jika masih ada harapan lain yang mungkin tertunda,
memercayai adanya keajaiban suatu saat nanti, dan disuatu hari masih ada yang
terbaik untuk gue. [ tuh kan… gue menangis lagi… ]
Maaf. Maaf. Maaf.
Jika gue tidak bisa menahan dan menghapus pribadi jelek gue ini. Jika gue
tidak mau membaur duluan dengan orang lain karena gue takut hanya ada orang
yang bersikap baik didepan tapi membicarakan hal buruk gue dibelakang. Jika gue
mudah iri hati karena gue selalu mengharapkan hal yang banyak dan tinggi. Jika
gue egois karena selalu mengkhawatirkan diri gue sendiri.
Hanya ada satu cara yang tersisa.
Ketika gue merasa sendirian dan tersesat seperti ini, hampir setiap saat
gue mengingat Tuhan (loh biasanya gimana? Biasanya gue hanya mengingat-Nya
ketika sedang beristirahat saja, - re: menjelang tidur - nggak hampir tiap
saat). Gue percaya mungkin ini adalah salah satu takdir yang dibuat oleh-Nya,
dan seperti karakter Tara yang gue bentuk dalam novel, gue seharusnya bisa
bertahan. Pasrah. Berjuang. Walaupun hal itu mungkin hal yang paling sulit bagi
gue saat ini.
Bertahan.
Semoga gue mampu. Gue pasti bisa, kan?
Gue ingin berjuang seperti-Nya. Bertahan seperti-Nya. Meminta maaf lebih
dulu agar hati ini tenang.
Selamat hari paskah. Semoga setiap masalah yang kita hadapi, semua
memiliki titik terang. Terutama tentang masalah dirimu sendiri.
Regards,
-Himawari Natalia-