Rabu, 23 Maret 2016

Catatan Harian Rie 1



Catatan Harian Rie

Maret, 2016
Ini catatan penting nggak penting buat kamu, jadi terserah mau membacanya atau tidak. Tapi dimohon jangan memberikan komentar yang membuat saya semakin terpuruk. Terima kasih.
Hm…, mulai dari mana ya?
Kadang, gue bertanya-tanya, apakah orang-orang yang gue kenal memang benar-benar baik? Benar-benar menyukai gue? Atau justru munafik didepan gue, membenci gue dan selalu menjelekkan gue dibelakang?
Sejujurnya gue merasa kepribadian gue bukanlah pribadi yang mudah disukai orang. Justru sebaliknya, sangat mudah dibenci orang.
Jujur, gue sedih.
Belakangan ini sangat sedih karena hampir tidak ada seorang pun yang mengerti gue.
Bagaimana mau mengerti? Mereka selalu menjelekkan gue, menjudge, menganggap gue buruk sebelum memahami apa yang gue rasakan. Yang gue alami. Gue merasa jahat… tapi gue juga merasa mereka jahat. Rumit.
Sebenarnya, gue sudah merasa jika gue mulai diasingkan kembali di kelas. Tapi gue pikir itu baik-baik saja karena gue memiliki teman – teman dekat. Everything’s gonna be okay, like my life in junior high school. Iya, sejak dulu sedikit orang yang bisa mengerti gue apa adanya. Jikalau ada, gue menganggapnya the one and only, satu – satunya yang tidak bisa tergantikan. Gue selalu bisa menjadi diri gue sendiri dihadapannya, dan gue berharap dia juga bisa tampil apa adanya dihadapan gue. Itu adalah pertemanan, sebuah persahabatan yang gue impikan sejak lama. Gue nggak ingin jika gue berteman baik hanya untuk dimanfaatkan, dan gue sangat membencinya.

Then, the problem comes.
Gue tau rasanya sakit hati, dan tidak ada yang peduli dengan gue, justru menyalahkan gue. Hmm. Sulit, bukan? Sebetulnya masalahnya simpel… ah tidak, rumit. Gue iri dengan kesempatan orang lain untuk magang – tepatnya teman dekat gue sendiri-, yang mulanya ditujukan pada gue. Berhubung dia memang tidak sengaja melakukannya, dan bukan salahnya sepenuhnya, gue memaafkan. Gue pikir, tidak ada untungnya bagi gue juga, kan?
Tapi, yang namanya perasaan memang tidak dapat dicegah. Ketika ia mulai sengaja tidak sengaja menceritakan tentang pengalaman atas magangnya itu diberbagai media, gue mulai kesel lagi. Why? Why not me? And why she always talking about? Dan apakah ia tidak tahu, bila gue merasa sedih dan tidak suka karena masalah ini, sehingga gue juga merasa tidak dihargai sama sekali?
Gue benar – benar terpuruk saat itu, serius. Itu adalah masa – masa dimana gue selalu menyalahkan diri gue sendiri… gue selalu menanggap diri gue lemah. Gak bisa apa – apa. Nggak mampu. Down. Tapi tidak ada yang peduli. Tidak ada yang mengerti mengapa gue bisa down, marah, sensitif. Batin gue berkata seolah gue nyesel tidak berada disana. Apakah salah gue, mengapa bukan gue? Itu adalah pertanyaan yang selalu menghantui gue kala itu.
Sekilas, dari pandangan orang luar yang nggak tau apa – apa, gue lah yang salah. Jelas kesempatan itu diraih bukan karenanya, tapi karena guru sendiri. Gue terkesan childish ya? Menyalahkan orang yang tak patut salah. Gue mau bersikap dewasa sebenarnya dengan menerima – tapi itu sulit loh. Sulit sekali, apalagi itu tentang teman terdekat lo sendiri. Seolah kesempatan yang harusnya untuk elo tetapi tidak elo terima.
Jadi, tetap tidak ada yang mau menganggap gue. Mendukung gue. Semua mengatakan secara kasat mata jika gue salah. That’s hurt. Ketika gue menangis, hampir tidak ada yang menghibur. Mereka hanya bertanya karena kepo dan bukan peduli, dan akhirnya memutuskan jika gue yang salah. Sekarang, gue nyesel menjawab pertanyaan – pertanyaan mereka yang jelas – jelas tidak mengenal siapakah gue.
Tapi akhirnya, pelan – pelan gue mau berusaha. Berusaha untuk menerima bukan melupakan, pelan – pelan tidak terlalu mengutuk diri sendiri. Teman – teman dekat gue yang lain, terutama teman semasa SMP, mendukung gue… karena paham gue seperti apa. Mama gue juga begitu, ia memberikan gue saran untuk tetap sabar. Mereka memberikan semangat, meyakini  gue kalau selalu masih ada yang lebih baik kedepannya. [ mata gue  berkaca – kaca loh pas ngetik paragraf ini, serius. (“: ]

And then? The problem is end, right? No, of chourse not. My self problem still continued.
Sekitar satu minggu sebelum giliran gue untuk magang, gue hampir menjadi peserta kompetisi akuntansi. Iya, akuntansi. Mata pelajaran yang sebenarnya gue sangat suka dari SMP dan gue memang menargetkan memiliki prestasi atau setidaknya pengalaman didalamnya. Gue hampir membatalkan giliran gue magang.
Pengalaman berkompetisi, atau magang?
Berhubung gue adalah seorang anak SMK, dan magang adalah salah satu syarat untuk ujian nasional, tentu pilihan magang lebih berat, kompetisi lebih ringan untuk dilepaskan. Ketika gue cerita kepada guru agama gue (karena guru BP kebetulan belum ada), beliau juga bilang hal yang sama. Ia bilang, suatu saat pasti ada kesempatan untuk gue berkompetisi lagi, walau bukan sekarang. Gue yakin, gue berusaha untuk percaya itu. Gue bercerita sambil menangis (lagi) kepadanya. Gue bilang, mam, saya takut bila kejadian itu terjadi lagi. Kejadian dimana harusnya kesempatan saya malah diambil oleh teman dekat saya sendiri. Apalagi teman dekat gue itu bisa dikatakan memiliki kepintaran ralat, kemampuan akuntansi yang hampir sama dengan gue.
Tapi beliau terus meyakinkan gue. Meyakinkan kalau semua hal selalu memiliki waktu yang tepat. Dengan keyakinan itu, gue mengiyakan ucapannya. Gue memutuskan untuk memilih magang, dengan sembilan puluh persen ikhlas.
Well, bisa dikatakan pengalaman magang gue cukup bagus. Kenapa ya… banyak hal menarik, unik, dan gue senang bisa disayangi salah satu karyawan disana, padahal biasanya karyawan itu cenderung cuek dengan anak magang. Mungkin karena gue dan dia memiliki beberapa kesamaan. Oke, lupakan.
Dan, ketika gue kembali bersekolah, batin gue mulai bermasalah lagi.
Apa yang gue takutkan, apa yang gue khawatirkan benar - benar terjadi. Lagi-lagi dia.
Dia yang diikutsertakan dalam kompetisi. Lagi, dan lagi.
Gue akui, gue iri banget. Banget. BANGET.
Sejak masih berada di kelas satu, gue sangat menginginkan kompetisi – entah mengapa. Mungkin karena gue pribadi yang suka bersaing dan selalu menargetkan hal yang tinggi. Gue ingin ada bukti bahwa gue memang pantas berada di kelas akuntansi. Gue tidak mau hanya sekedar nilai bagus di rapor, atau pengakuan dari teman – teman SMP dan keluarga yang mengatakan kalau gue bisa akuntansi. Apa lagi gue sudah belajar akuntansi sejak lama, sudah hampir lima tahun. Masa bertahun – tahun tidak ada hasil sama sekali? Gue takut kalau gue tidak cocok untuk terus fokus pada bidang akuntansi. Gue takut, gue berada dijalan yang salah. Aneh, ya?
Iri banget… tentang dia yang sepertinya hampir selalu mendapatkan apa yang gue harap. Kadang gue juga merasa kalau ini semua nggak adil.
Tapi sekali lagi, dia nggak salah. Dia nggak salah, dan semua orang menganggap gue salah. Siapa peduli akan apa yang gue rasakan, siapa mengerti tentang harapan gue, siapa yang mau mengerti diri gue yang seperti ini? Perlahan, gue seperti kembali ke masa lalu. Ketika gue dianggap sebagai kasat mata dan hanya sedikit orang yang peduli. Gue terima diperlakukan sebagai orang tidak kasat mata, tapi gue tidak ingin memiliki masalah diri sendiri dengan teman dekat gue sendiri.
Seperti yang gue bilang diatas, bagi gue teman adalah the one and only. Tidak mudah bagi gue untuk berbaur dengan orang lain yang jelas – jelas tidak mau menerima gue, atau gue yang memang enggan membuka diri gue. Gue orang yang tidak mau peduli, terlalu mementingkan diri sendiri, egois, mudah iri hati, tapi dibalik itu gue sangat peduli tentang teman dekat – alias sahabat – yang mungkin dianggap sebelah mata bagi beberapa orang.
Gue tidak ingin kehilangan teman dekat gue – dia. Sungguh. Tapi gue sangat takut rasa itu akan muncul kembali. Silahkan bilang gue buruk. Jahat. Kenyataannya memang seperti itu, ya? Pantas tidak ada yang mau menerima gue, hanya beberapa orang.
Mudah sih… semua yang menjadi tempat curhat gue berpendapat yang sama. Jangan iri. Simpel. Mengikhlaskan. Nanti bisa berujung dendam.
Tapi itu tidak mudah. Walau gue sudah menanamkan hal itu pada pikiran gue, tetap saja hati gue sering berkata sebaliknya.
Gue tidak takut dendam, yang gue takutkan adalah diri gue sendiri. Gue takut jika gue iri, gue akan down. Gue sering begitu. Ketika gue iri, gue selalu merasa tidak mampu dan akhirnya menyalahkan diri gue sendiri. Itu yang terjadi ketika dia mendapatkan kesempatan magang duluan tempo lalu.
Gue akan menyesal. Takut dan khawatir yang tidak perlu dengan diri gue. Lalu, ketika yang gue khawatirkan terjadi, rasa takut gue datang, yang bisa gue lakukan hanya menangis. Mengurung diri di kamar. Gue merasa kesepian. Gue merasa tersesat. Gue merasa kalau gue hanya sendiri.

Tolong.
Gue nggak ingin perasaan yang muncul tanpa bisa dikendalikan ini membuat orang – orang sekitar gue enggan mau bersama gue, dan selalu menganggap gue manusia yang salah dan penuh dosa. Gue butuh orang yang menerima gue yang seperti ini, meningatkan gue jika masih ada harapan lain yang mungkin tertunda, memercayai adanya keajaiban suatu saat nanti, dan disuatu hari masih ada yang terbaik untuk gue. [ tuh kan… gue menangis lagi… ]
Maaf. Maaf. Maaf.
Jika gue tidak bisa menahan dan menghapus pribadi jelek gue ini. Jika gue tidak mau membaur duluan dengan orang lain karena gue takut hanya ada orang yang bersikap baik didepan tapi membicarakan hal buruk gue dibelakang. Jika gue mudah iri hati karena gue selalu mengharapkan hal yang banyak dan tinggi. Jika gue egois karena selalu mengkhawatirkan diri gue sendiri.

Hanya ada satu cara yang tersisa.
Ketika gue merasa sendirian dan tersesat seperti ini, hampir setiap saat gue mengingat Tuhan (loh biasanya gimana? Biasanya gue hanya mengingat-Nya ketika sedang beristirahat saja, - re: menjelang tidur - nggak hampir tiap saat). Gue percaya mungkin ini adalah salah satu takdir yang dibuat oleh-Nya, dan seperti karakter Tara yang gue bentuk dalam novel, gue seharusnya bisa bertahan. Pasrah. Berjuang. Walaupun hal itu mungkin hal yang paling sulit bagi gue saat ini.
Bertahan.
Semoga gue mampu. Gue pasti bisa, kan?
Gue ingin berjuang seperti-Nya. Bertahan seperti-Nya. Meminta maaf lebih dulu agar hati ini tenang.
Selamat hari paskah. Semoga setiap masalah yang kita hadapi, semua memiliki titik terang. Terutama tentang masalah dirimu sendiri.

Regards,
-Himawari Natalia-