Sabtu, 23 Juli 2016

Catatan Harian Rie 3: Memaafkan Diri Sendiri

Juli, 2016

“Mereka yang tertawa bersama-sama belum tentu bahagia.
Siapa yang tahu jika mereka tertawa untuk menutupi kesedihan.”
Kata-kata diatas saya dapat dari salah satu seorang guru saya di sekolah, yang menasehati saya secara tidak langsung untuk lebih berbaur dan lebih sering berbicara.
Menurutnya, saya sudah terlalu lama menunjukkan kesedihan, dan saya masih pantas untuk berbahagia. Ironis, memang. Kata-katanya menusuk tepat dihati saya, dan kala itu saya hanya bisa tersenyum.
Beberapa waktu sebelumnya, saya pernah mengikuti suatu tes psikologi. Saran yang ditujukan kepada saya adalah; saya harus memaafkan diri sendiri dan orang lain. Ketika guru saya menyampaikan nasehatnya, yang saya ingat justru tentang saran dari hasil tes psikologi tersebut.
Sejujurnya, jauh dilubuk hati saya yang terdalam, saya memang belum sepenuhnya bisa memaafkan. Entah kepada diri saya sendiri yang pernah melakukan kesalahan alias menyalahkan diri saya sendiri, atau orang lain yang pernah menyakiti hati saya secara tak langsung. Terkadang, ada disuatu momen tertentu yang mengingatkan saya pada kesalahan-kesalahan itu.
Karena itu, saya bersikap seolah saya selalu sendirian. Tidak mau berbicara kecuali memang perlu, dan menjauh dari orang-orang yang memang sejak awal tidak dekat dengan saya. Menyedihkan, memang. Guru saya benar.
Terkadang, ada suatu waktu yang membuat saya merenung. Apa yang harus kulakukan atas keadaan seperti yang tak adil ini? Bagaimana cara membuka diri? Apakah seperti ini terus adalah hal yang baik bagi diri saya? Bagaimana jika suatu hari nanti, saya lupa siapa sebenarnya diri saya dan berubah menjadi orang lain?
Saya pernah berpikir jika menjadi orang lain adalah satu-satunya cara agar bisa diterima di lingkungan saya. Menjadi pribadi yang lebih ceria, yang lebih seru, pokoknya yang bukan saya banget. Yang bukan introver, bukan penggemar karya tulis, bukan orang rumahan yang hanya main disetiap weekend. Tapi, hari ini perkataan guru saya membuat saya kembali berpikir ulang mengenai itu.
Benar juga. Siapa yang tahu makna dibalik senyuman, bukan?
Lagi pula, sahabat sekaligus kakak perempuan saya didunia maya, sebut saja dia V, pernah bilang kepada saya kalau dirinya nggak pernah ingin menjadi orang lain. Alasannya kira-kira seperti ini,…
Nggak pernah mau jadi orang lain, Ri. Soalnya banyak orang yang mau jadi kita, masa kita mau jadi orang lain. Dan dengan kita punya pikiran ‘ingin menjadi orang lain’ berarti kita tidak mensyukuri apa yang sang pencipta berikan.
Memang, namanya juga manusia yang selalu ingin lebih. Bersyukur aja sama orang yang menerima diri lu apa adanya, terlebih pada penciptamu yang begitu menyayangi dirimu.
V, boleh saya menangis?
Ketika saya mengingat perkataan V dan guru saya, semuanya terasa lebih baik. Sudah sebaiknya, dan mungkin saatnya bagi saya untuk memaafkan diri saya sendiri. Menerima diri sendiri yang memang berbeda dari orang lain. Membuka hati pelan-pelan untuk orang disekitar saya yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada saya. Memaafkan orang lain agar setiap momen dan kenangan yang terlewati tidak terasa menyakitkan.
Butuh waktu cukup lama untuk melakukan semua itu, bahkan untuk menyadarinya sekalipun. Bagi kasus saya, saya perlu waktu sepanjang liburan semester untuk memahaminya sedikit demi sedikit.
Ya, saya harap hari-hari berikutnya dalam hidup saya akan berjalan lebih baik dengan gagasan baru ini.
Kamu memiliki hak untuk bahagia, kata guru saya, entah mengutip dari buku mana.
 Dan saya menambahkannya dalam hati, dengan cara diri saya sendiri.


“Jangan menyesali mengenai siapa dirimu, karena masih ada orang dan sang pencipta yang menyayangimu. Bersyukurlah, berbahagialah, karena kamu memiliki hak untuk itu.”

2 komentar: