“Mereka yang tertawa bersama-sama belum tentu bahagia.
Siapa yang tahu jika mereka tertawa untuk menutupi kesedihan.”
Kata-kata diatas saya dapat dari salah satu
seorang guru saya di sekolah, yang menasehati saya secara tidak langsung untuk
lebih berbaur dan lebih sering berbicara.
Menurutnya, saya sudah terlalu lama menunjukkan
kesedihan, dan saya masih pantas untuk berbahagia. Ironis, memang. Kata-katanya
menusuk tepat dihati saya, dan kala itu saya hanya bisa tersenyum.
Beberapa waktu sebelumnya, saya pernah
mengikuti suatu tes psikologi. Saran yang ditujukan kepada saya adalah; saya
harus memaafkan diri sendiri dan orang lain. Ketika guru saya menyampaikan
nasehatnya, yang saya ingat justru tentang saran dari hasil tes psikologi
tersebut.
Sejujurnya, jauh dilubuk hati saya yang
terdalam, saya memang belum sepenuhnya bisa memaafkan. Entah kepada diri saya
sendiri yang pernah melakukan kesalahan alias menyalahkan diri saya sendiri,
atau orang lain yang pernah menyakiti hati saya secara tak langsung. Terkadang,
ada disuatu momen tertentu yang mengingatkan saya pada kesalahan-kesalahan itu.
Karena itu, saya bersikap seolah saya selalu
sendirian. Tidak mau berbicara kecuali memang perlu, dan menjauh dari
orang-orang yang memang sejak awal tidak dekat dengan saya. Menyedihkan,
memang. Guru saya benar.
Terkadang, ada suatu waktu yang membuat saya
merenung. Apa yang harus kulakukan atas keadaan seperti yang tak adil ini?
Bagaimana cara membuka diri? Apakah seperti ini terus adalah hal yang baik bagi
diri saya? Bagaimana jika suatu hari nanti, saya lupa siapa sebenarnya diri
saya dan berubah menjadi orang lain?
Saya pernah berpikir jika menjadi orang lain
adalah satu-satunya cara agar bisa diterima di lingkungan saya. Menjadi pribadi
yang lebih ceria, yang lebih seru, pokoknya yang bukan saya banget. Yang bukan
introver, bukan penggemar karya tulis, bukan orang rumahan yang hanya main disetiap
weekend. Tapi, hari ini perkataan
guru saya membuat saya kembali berpikir ulang mengenai itu.
Benar juga. Siapa yang tahu makna dibalik
senyuman, bukan?
Lagi pula, sahabat sekaligus kakak perempuan
saya didunia maya, sebut saja dia V, pernah bilang kepada saya kalau dirinya
nggak pernah ingin menjadi orang lain. Alasannya kira-kira seperti ini,…
Nggak pernah mau jadi orang lain, Ri. Soalnya banyak orang yang mau jadi
kita, masa kita mau jadi orang lain. Dan dengan kita punya pikiran ‘ingin
menjadi orang lain’ berarti kita tidak mensyukuri apa yang sang pencipta
berikan.
Memang, namanya juga manusia yang selalu ingin lebih. Bersyukur aja sama
orang yang menerima diri lu apa adanya, terlebih pada penciptamu yang begitu
menyayangi dirimu.
V, boleh saya menangis?
Ketika saya mengingat perkataan V dan guru
saya, semuanya terasa lebih baik. Sudah sebaiknya, dan mungkin saatnya bagi
saya untuk memaafkan diri saya sendiri. Menerima diri sendiri yang memang
berbeda dari orang lain. Membuka hati pelan-pelan untuk orang disekitar saya
yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada saya. Memaafkan orang lain agar
setiap momen dan kenangan yang terlewati tidak terasa menyakitkan.
Butuh waktu cukup lama untuk melakukan semua
itu, bahkan untuk menyadarinya sekalipun. Bagi kasus saya, saya perlu waktu
sepanjang liburan semester untuk memahaminya sedikit demi sedikit.
Ya, saya harap hari-hari berikutnya dalam hidup
saya akan berjalan lebih baik dengan gagasan baru ini.
Kamu memiliki hak untuk bahagia, kata guru saya, entah mengutip dari buku mana.
Dan saya
menambahkannya dalam hati, dengan cara
diri saya sendiri.
“Jangan menyesali mengenai siapa
dirimu, karena masih ada orang dan sang pencipta yang menyayangimu.
Bersyukurlah, berbahagialah, karena kamu memiliki hak untuk itu.”
ya ampun... kok mirip banget
BalasHapusberarti saya gak sendirian :'(
Semangat terus ya >.<
HapusYou're not alone.